Mengisi akhir pekan di Puncak telah jadi kebiasaan warga Jakarta. Seperti yang sedang saya lakukan ini. Tapi, kali ini saya khusus datang bukan untuk mengunjungi Kebun Raya Cibodas atau Taman Bunga, tetapi menjelajah kuliner khas Cianjur. Melewati kawasan Cipanas, perjalanan saya luruskan menuju Alun-alun Kota Cianjur di mana pusat kota berada. Cianjur merupakan salah satu kota bersejarah, selain terdapat berbagai situs megalitik dan Sunda Kuno, Cianjur juga menjadi lokasi perpaduan budaya Tionghoa dan Sunda.
Seperti layaknya pusat kota kecil di Jawa Barat, Alun-alun Cianjur memiliki beberapa bangunan pemerintah yang megah dan masjid raya. Beberapa bangunanart-decopeninggalan masa kolonialisme, tampak menghiasi wajah alun-alun. Bersama beberapa kawan, saya memulai penjelajahan kuliner dengan berjalan kaki. Masakan Sunda sudah biasa, tapi yang saya cari kali ini adalah kuliner khas Cianjur yang beraroma Tionghoa.
Hampir setengah jam berjalan kaki, tak juga saya temukan tempat makan yang menarik. Jalan-jalan utama dan kecil sebagian besar diisi oleh pedagang kaki lima. Semakin jauh saya berjalan, akhirnya saya mencium aroma menyengat oriental dari sebuah gerobak. Karena tak tahu apa yang sedang dimasak, saya pun bertanya. Ternyata lumpia basah. Tak seperti Semarang, yang ini bahan-bahan seperti telur, tauge, dan rebung langsung dimasak di atas wajan bersama bumbu. Setelahnya, adonan isi tersebut dituang di atas sebuah kulit lumpia yang telah dilapisi saus asam-manis. Hmmm… rasanya lebih gurih dan basah ketimbang lumpia lain. Harga seporsi hanya Rp three.500.
Hampir setengah jam berjalan kaki, tak juga saya temukan tempat makan yang tampak menarik. Jalan-jalan utama dan kecil sebagian besar diisi oleh pedagang kaki lima. Semakin jauh saya berjalan, akhirnya saya mencium aroma menyengat oriental dari sebuah gerobak. Karena tak tahu apa yang sedang dimasak, saya pun bertanya. Ternyata lumpia basah. Bahan-bahan seperti telur, tauge, dan rebung langsung dimasak di atas wajan bersama bumbu. Setelahnya, adonan isi tersebut dituang di atas sebuah kulit lumpia yang telah dilapisi saus asam-manis. Hmmm… rasanya lebih gurih dan basah ketimbang lumpia lainnya. Harga seporsi hanya Rp three.500.
Sambil menyantap lumpia basah beralas daun pisang, saya melanjutkan perjalanan mencari makanan lagi. Bakso, mi ayam, dan batagor banyak ditemukan di sepanjang jalan. Menuju Jl. HOS Cokroaminoto, saya menemukan sebuah toko tua sederhana. Beberapa orang tampak hilir mudik. Sebuah plang terpajang di depannya, bertuliskan “Tauco No. 1 buatan Nyonya Tasma, Cap Meong.” Tanpa ragu, saya masuk dan ikut mengantri untuk membeli tauco buatan generasi ketiga dari Nyonya Tasma yang adalah peranakan Tionghoa. Aromanya begitu harum. Tauco yang diwadahi kuali tanah liat selalu disajikan segar dan panas. Harga sebotolonya Rp 15.000. Tauco Cap Meong ini ternyata sudah ada sejak tahun 1880, hingga sekarang bahan dan proses pembuatannya masih sama. Dan saya beruntung karena kata pembeli, kalau kesorean biasanya sudah kehabisan.
Di jalan ini, ternyata banyak pengusaha kecil (toko) yang dimiliki oleh keluarga peranakan. Tak jauh dari Tauco Cap Meong, akhirnya saya menemukan bubur khas Cianjur. Tentu saja berbeda dari bubur lainnya. Saya perhatikan, bubur terdiri dari isian kacang, seledri, bawang goreng, suwiran daging ayam, dan kerupuk. Tak ada kuah kuning (santan), namun yang spesial, ada potongan jeroan ayam (ati, ampela, dan usus) yang telah dimasak bersama bumbu basah warna kuning dan dilengkapi dengan gorengan risol. Rasanya juga berbeda. Bubur menjadi lebih gurih dan tidak encer. Harga sepiring hanya Rp 5.000 (tidak termasuk tambahan risol).
Meski perut sudah terasa kenyang, namun sebuah toko tua di sebrang bubur tampak menjajakan dagangan yang sayang sekali untuk dilewatkan. Kami lantas menyebrang dan membeli dua bungkus roti hangat buatan seorang kakek peranakan.
Tak sabar mencicipi roti, beberapa saat setelah sampai di penginapan, kami pun menjadikan roti cokelat dan roti pisang-cokelat itu sebagai cemilan. Roti memang tak gurih atau beraroma pekat seperti roti trendy di mal atau plasa, tetapi dengan adonan dan rasa yang sederhana, setidaknya mengobati kekangenan saya pada roti buatan tangan yang biasa menjadi sarapan ketika kecil dulu.
Melewati kawasan Cipanas, perjalanan saya luruskan menuju Alun-alu Kota Cianjur di mana pusat kota berada. Cianjur merupakan salah satu kota bersejarah, selain terdapat berbagai situs megalitik dan Sunda Kuno, Cianjur juga menjadi lokasi perpaduan budaya Tionghoa dan Sunda.
Seperti layaknya pusat kota kecil di Jawa Barat, Alun-alun Cianjur memiliki beberapa bangunan pemerintah yang megah dan masjid raya. Beberapa bangunanart-decopeninggalan masa kolonialisme, tampak menghiasi wajah alun-alun. Bersama beberapa kawan, saya memulai penjelajahan kuliner dengan berjalan kaki. Masakan Sunda sudah biasa, tapi yang saya cari kali ini adalah kuliner khas Cianjur yang beraroma Tionghoa.